Sejarah Desa


Desa Giriklopomulyo merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Sekampung, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung.  Desa Giriklopomulyo, saat ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 5.796 orang dengan jumlah 1.517 KK, yang terdiri dari tujuh dusun, 15 RW, dan 14 RT. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Pertanian utamanya adalah ladang dan perkebunan (jagung, padi, cabe, dan sayuran). Desa yang memiliki luas sekitar 582,50 HA. Lokasi desa ini tidak terlalu jauh dengan Kecamatan Marga Sekampung, yaitu sekitar 4 Km, sedang jarak ke Kabupaten Lampung Timur adalah sekitar 37 km.

Dalam Monografi Desa Giriklopomulyo,yang disusun dalam rangka untuk mengikuti Lomba Desa Tingkat Kabupaten Lampung Timur Tahun 2009, dikisahkan bahwa pada abad 16 beberapa tetua dari daerah Way Kanan berlayar menuju Banten guna memperdalam ilmu dan pengetahuan tentang agama Islam. Pada abad tersebut memang Kerajaan Islam di Banten mengalami masa kejayaannya, sehingga wajar bila banyak yang ingin belajar di sana karena ulama Banten kala itu cukup tersohor. Sesampainya di Banten dalam keadaan sehat dan selamat, mereka segera berkeinginan memperdalam ilmu dan pengetahuan agama yang haq, yaitu agama Islam. Setelah belajar ilmu agamanya dirasa cukup, para tetua tersebut berkeinginan pulang ke daerahnya untuk mengamalkan ilmu yang sudah didapatkanya di Banten. Namun malang tak dapat ditolak, di tengah perjalanan pulang ke Way Kanan, rakit yang mereka tumpangi diterjang oleh ombak dan badai di tengah lautan sehingga mereka kehilangan arah, dan pada akhirnya rakit mereka terdampar di muara Way Sekampung. Peristiwa musibah tersebut didengar oleh pemuka-pemuka agama di Banten bahwa rombongan para tetua terdampar di sana, maka oleh Sultan Banten mereka disuruh bersabar dan sekaligus direstui untuk bermukim di sana (diperkirakan di sekitar Labuhan Ratu sekarang). Namun mereka tidak betah tinggal di sana karena keamanan mereka sering terganggu oleh perompak laut (bajau), akhirnya memutuskan untuk pindah ke daerah Sirkulo (seputaran Negara Saka sekarang).

Di Sirkulo, mereka bergabung dengan masyarakat pribumi, yaitu orang-orang Melinting. Akan tetapi kehadiran para tetua tersebut, kurang diterima oleh penduduk Melinting. Sehingga, mereka berinisitaif mengadakan pertemuan dengan para tetua Melinting untuk mengadakan suatu perundingan sayembara mengadu kerbau. Dalam sayembara tersebut diikat dengan perjanjian bila mana kerbau para tetua Way Kanan kalah maka mereka harus pindah atau kembali ke kampung asal mereka, akan tetapi kalau kerbau mereka yang menang maka para tetua Melinting harus siap angkat kaki dan pindah dari desa tersebut. Akhirnya, perundingan tersebut membuahkan kata sepakat di antara kedua belah pihak, dan menjadi keputusan yang sah. Kemudian masing-masing tetua dari Way Kanan maupun Melinting sama-sama mempersiapkan kerbau yang akan disayembarakan tersebut. Dari pihak Melinting telah menyiapkan kerbau yang gagah dan besar serta tanduknya yang panjang, sedangkan dari pihak Way Kanan telah menyiapkan anak kerbau yang berumur dua bulan dan dipisahkan dari induknya selama dua hari. Oleh mereka, kepala anak kerbau tersebut dipasangi taji dari duri-duri serut. Begitu perlombaan dimulai, anak kerbau dilepas. Anak kerbau tersebut langsung menyeruduk di bawah perut kerbau tetua Melinting mau menyusu disangka induknya, maka melompat dan berlarilah kerbau orang Melinting karena perutnya tertusuk taji sehingga melangkahi garis. Seketika itulah gong besar berbunyi dan menyatakan bahwa orang Melinting yang kalah, dan para tetua Way Kanan dinyatakan menang.

Pada acara pesta (begawi) datanglah serangan mendadak yang tidak diduga-duga, sehingga terjadi pertarungan yang hebat. Seketika itu juga turun hujan lebat secara mendadak yang mengakibatkan tanggul Maung jebol dan terjadilah banjir bandang (besar) sehingga pertarungan menjadi terhenti. Peristiwa ini acap disebut peleboran. Setelah beberapa tahun kemudian, usai banjir bandang, para tetua Way Kanan terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu: kelompok yang bermukim di Tebung Suluh, Putat, dan Ketetuk. Mereka membangun desa di tepi Way Batanghari dan letak ketiga kelompok tersebut tidaklah berjauhan serta hidup dengan damai dan sejahtera. Pada suatu malam terjadi peristiwa yang menggemparkan, di mana salah satu warga yang sedang menjalankan siskamling atau ronda dimakan oleh ikan Pelus. Ikan Pelus adalah semacam moa yang besar dan memiliki telinga kecil. Malam kedua, ikan tersebut naik ke darat untuk mencari mangsa lagi, dan oleh masyarakat seluruh jalan yang akan menuju sungai ditaburi dengan abu tungku. Akhirya, ikan Pelus tadi ditangkap, dan dagingnya dibagi-bagikan kepada warga untuk dipanggang. Tanpa disadari, saking besarnya ikan Pelus tersebut ketika dipanggang meneteskan lemak yang banyak dan terkena bara panggangan oleh salah seorang warga. Pada saat itulah, terjadi kebakaran yang menyebabkan rumah mereka habis dilalap si jago merah. Usai kebakaran tersebut, para tetua berkehendak pindak ke udik untuk mendirikan desa lagi (Tiyuh Tuho) di daerah batu bungkuk. Memasuki  abad 18, pemerintah kolonial Belanda mulai masuk ke pedalaman Lampung, dan memerintahkan semua desa yang berada di tepi sungai harus pindah ke darat. Sehingga, tak terkecuali Desa Giriklopomulyo seperti yang sekarang ini. Karena ihwalnya dulu berdiri di daerah yang ada banyak buah kelapanya, maka desa tersebut diberi nama Desa Griklopomulyo.

0 komentar:

Posting Komentar